Terlepas
dari kesadaran manusia, ternyata beberapa hewan juga mampu berinteraksi dengan
ilmu fisika, misalnya lumba-lumba.Lumba-lumba menggunakan suara untuk
“melihat”. Mereka mengeluarkan suara dan mendengarkan pantulannya untuk mencari
makanan dan navigasi sebagai pendeteksi kejadian seperti gempa.
Gempa, getaran, dan bunyi saling berkaitan dalam hal yang satu membangkitkan yang lain. Gempa menyebabkan getaran, getaran menyebabkan bunyi. Jumlah getaran per detik adalah frekuensi. Getaran dan bunyi merambat melalui gerak gelombang. Maka dari satu titik asal gempa, efek getaran, bunyi, dan kerusakan yang disebabkannya bisa dirasakan dalam kawasan yang luas.
Pada saat hendak terjadi gempa Kobe 1995 banyak orang melaporkan merasakan getaran dan mendengar bunyi berfrekuensi rendah dari bawah tanah. Fenomena ini telah menginspirasi para ahli gempa memasang seismograf dan hidrofon di bawah permukaan tanah atau di dasar laut. Lumba-lumba, memang bermain di kisaran bunyi berfrekuensi tinggi (ultrasonik) di antara 40.000 - 100.000 Hz (Ridgeway, 1990). Frekuensi bunyi setinggi itu sudah tak bisa ditangkap manusia sebab telinga manusia peka di frekuensi rendah (infrasonik) 20 - 17.000 Hz. Lumba-lumba moncong botol bisa mendengar frekuensi rendah 1000 Hz, asal cukup keras.
Gempa menghasilkan sinyal akustik (bunyi) gelombang-T dengan periode fase-T dan amplitudenya berhubungan dengan magnitude gempa. Gempa menghasilkan energi akustik berfrekuensi 5-100 Hz. Frekuensi serendah itu tidak akan bisa diindrai lumba-lumba. Maka, lumba-lumba bernavigasi kacau sebelum gempa Talaud kemarin mungkin tak ada hubungannya dengan getaran dan bunyi gempa.
Gempa, getaran, dan bunyi saling berkaitan dalam hal yang satu membangkitkan yang lain. Gempa menyebabkan getaran, getaran menyebabkan bunyi. Jumlah getaran per detik adalah frekuensi. Getaran dan bunyi merambat melalui gerak gelombang. Maka dari satu titik asal gempa, efek getaran, bunyi, dan kerusakan yang disebabkannya bisa dirasakan dalam kawasan yang luas.
Pada saat hendak terjadi gempa Kobe 1995 banyak orang melaporkan merasakan getaran dan mendengar bunyi berfrekuensi rendah dari bawah tanah. Fenomena ini telah menginspirasi para ahli gempa memasang seismograf dan hidrofon di bawah permukaan tanah atau di dasar laut. Lumba-lumba, memang bermain di kisaran bunyi berfrekuensi tinggi (ultrasonik) di antara 40.000 - 100.000 Hz (Ridgeway, 1990). Frekuensi bunyi setinggi itu sudah tak bisa ditangkap manusia sebab telinga manusia peka di frekuensi rendah (infrasonik) 20 - 17.000 Hz. Lumba-lumba moncong botol bisa mendengar frekuensi rendah 1000 Hz, asal cukup keras.
Gempa menghasilkan sinyal akustik (bunyi) gelombang-T dengan periode fase-T dan amplitudenya berhubungan dengan magnitude gempa. Gempa menghasilkan energi akustik berfrekuensi 5-100 Hz. Frekuensi serendah itu tidak akan bisa diindrai lumba-lumba. Maka, lumba-lumba bernavigasi kacau sebelum gempa Talaud kemarin mungkin tak ada hubungannya dengan getaran dan bunyi gempa.
Gambar.1 Bagian tubuh ikan lumba-lumba
Gelombang EM diduga akan dibentuk oleh perubahan-perubahan stress (tekanan) yang dialami wilayah hiposentrum sebelum gempa terjadi. Gelombang EM ini naik ke atas ke permukaan Bumi juga menuju atmosfer dengan berbagai nilai konduktivitas listriknya. Gelombang EM dan konduktivitas listrik yang disebabkannya akan menyebabkan polarisasi awan terlihat tegak lurus di atmosfer.
Lumba-lumba punya sensor biomagnetit yang
memberikannya electromagnetic sense yang dapat menghubungkan respon otaknya
dengan berbagai fenomena elektromagnetik. Apakah semburan gelombang
elektromagnetik dari gempa besar telah mengacaukan respon otak lumba-lumba
sehingga kehilangan daya navigasinya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar